SELAMAT DATANG

Blog ini digunakan untuk menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi insan pendidikan (Dosen, Mahasiswa, Guru dan Siswa) yang ingin mencari wawasan melalui dunia maya.

Kamis, 04 Juni 2009

PENGEMBANGAN USAHA MICRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) SEBAGAI KEKUATAN STRATEGIS DALAM MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN DAERAH

Oleh: Abdullah Abidin

EXECUTIVE SUMMARY
Makalah ini membahas tentang pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai kekuatan strategis dalam mempercepat pembangunan daerah. Dalam hubungan ini khususnya sektor usaha mikro memang menduduki posisi strategis dalam pembangunan sebagai safety belt, karena pertumbuhan UMKM setiap tahunnya semakin meningkat.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah memiliki posisi penting, bukan saja dalam penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dalam banyak hal mereka menjadi perekat dan menstabilkan masalah kesenjangan sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu upaya untuk menumbuhkan iklim kondusif bagi perkembangan UMKM dalam mempercepat pembangunan daerah.
Menempatkan usaha mikro kecil dan menengah sebagai sasaran utama pembangunan harus dilandasi komitmen dan koordinasi yang baik antara pemerintah, pembisnis dan lembaga non bisnis serta masyarakat setempat dengan menerapkan strategi Agresif yang berbasis pada ekonomi jaringan (Kemitraan); Pengembangan usaha mikro kecil dan menengah keseluruhan dengan cara memberi dukungan positif dan nyata terhadap pengembangan sumber daya manusia (pelatihan kewirausahaan), teknologi, informasi, akses pendanaan serta pemasaran, Perluasan pasar ekspor, merupakan indikator keberhasilan membangun iklim usaha yang berbasis kerakyatan.

Kata kunci: Small Businees, middle Businees, medium Businees, Financial, Government, Strategy, Human Reseurcess, Network, Promotion, Market.

Pendahuluan
Usaha Micro Kecil dan Menengah (UMKM) harus diakui sebagai kekuatan strategis dan penting untuk mempercepat pembangunan daerah, oleh karena pertumbuhan Usaha Mikro kecil dan Menengah setiap tahun mengalami peningkatan, dimana jumlah UMKM di Indonesia pada tahun 2008 sebanyak 48,9 Juta unit, dan terbukti memberikan kontribusi 53,28% terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) dan 96,18% terhadap penyerapan tenaga kerja. Selain itu, selama 2005-2008, laju pertumbuhan PDB UMKM dengan minyak dan gas (Migas) dan tanpa migas ternyata tidak berbeda jauh, hanya pada PDB tanpa migas agak tertarik ke atas..
Sepanjang 2005-2008 kumulatif pertumbuhan PDB migas UMKM masing-masing: 5,61%; 5,52%; 5,97%; dan 5,40%, sedangkan pertumbuhan tanpa migas masing-masing: 5,62%; 5,55%; 5,99%; dan 5,41%. Bandingkan dengan pertumbuhan PDB usaha besar, dengan migas masing-masing: 3,77%; 4,42%; 5,32% dan 5,60% sedangkan tanpa migas masing-masing: 5,81%; 6,64%; 7,49%; dan 7,17%.
Data pertumbuhan PDB selama 4 (empat) tahun itu, tampak bahwa dengan migas laju pertumbuhan UMKM lebih baik daripada laju pertumbuhan usaha besar, walaupun pertumbuhan PDB usaha besar cenderung meningkat terus setiap tahunnya. Bila dicermati dari laju pertumbuhan PDB tanpa migas, pertumbuhan PDB usaha besar lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan PDB UMKM. Ini menunjukkan pertumbuhan PDB migas yang umumnya dikelola oleh usaha besar mengalami penurunan setiap tahunnya.
Dari data tersebut di atas, berarti kita tidak boleh mengabaikan keberadaan UMKM yang strategis baik secara nasional maupun di daerah. UMKM memiliki posisi penting, bukan saja dalam penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dalam banyak hal mereka menjadi perekat dan menstabilkan masalah kesenjangan sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu upaya untuk menumbuhkan iklim kondusif bagi perkembangan UMKM dalam mempercepat pembangunan daerah.

Kriteria Usaha Mikro Kecil Dan Menengah.
Konsep Usaha Kecil itu sendiri sesungguhnya, dari 48,9 juta usaha kecil di Indonesia, hanya 1 juta unit lebih yang benar-benar dapat di sebut sebagai pengusaha kecil. Koperasi pun hanya 80 ribu lebih, lebih dari 47,50 juta pengusaha sesungguhnya dikategorikan sebagai usaha mikro. Dengan demikian, bila kita berbicara tentang UMKM perlu di ingat bahwa sebetulnya kebanyakan usaha yang kita bahas itu bersifat sangat kecil. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan mengenai kriteria pengusaha kecil baik yang ada dikalangan perbankan, lembaga terkait, biro statistik (BPS), maupun menurut kamar dagang dan industri Indonesia (KADIN). Perbedaan kriteria tersebut adalah Bank Indonesia. Suatu perusahaan atau perorangan yang mempunyai total assets maksimal Rp. 600 juta tidak termasuk rumah dan tanah yang ditempati. Untuk Departemen Perindustrian kriteria usaha kecil sama dengan Bank Indonesia. Biro Pusat Statistik (BPS); Usaha rumah tangga mempunyai : 1-5 tenaga kerja, Usaha kecil mempunyai : 6-19 tenaga kerja, Usaha menengah mempunyai : 20-99 tenaga kerja. Kamar Dagang Industri Indonesia (KADIN); Industri yang mempunyai total assets maksimal Rp.600 juta termasuk rumah dan tanah yang ditempati dengan jumlah tenaga kerja dibawah 250 orang. Departemen Keuangan; Suatu badan usaha atau perorangan yang mempunyai assets setinggi-tingginya Rp. 300 juta atau yang mempunyai omset penjualannya maksimal Rp. 300 juta per tahun.
Sebagai permbandingan dikemukakan pula beberapa kriteria usaha kecil beberapa Negara berkembang seperti India, Thailand dan Philipina. India, Industri yang memiliki pabrik dan mesin-mesin beserta perlengkapannya dengan fixed assets maksimal Rupe 2.500.000 atau sekitar Rp. 496,4 juta. Thailand Industri yang memiliki fixed assets maksimal Bath 2.000.000 atau sekitar Rp. 438,1 juta. Philipina Usaha rumah tangga industri adalah yang nilai fixed assets kurang dari Pesos 100.000 atau sekitar Rp. 16 juta. Small industry adalah yang nilai fixed assetsnya antara Pesos 100.000 s/d 1.000.000 atau sekitar Rp. 160,8 juta.
Usaha berskala mikro, kecil dan menengah dalam arti yang sempit seringkali dipahami sebagai suatu kegiatan usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja dan atau assets yang relatif kecil. Bila hanya komponen ini dijadikan sebagai patokan dalam menentukan besar kecilnya skala usaha maka banyak bias yang terjadi, sebagai contoh sebuah perusahaan yang memperkejakan 50 orang karyawan di Amerika Serikat di kategorikan sebagai perusahaa kecil (relatif terhadap ukuran ekonomi Amerika Serikat). Sementara itu untuk ukuran yang sama, sebuah perusahaan di Bolivia tidak lagi masuk dalam kategori usaha kecil. Dengan demikian, diperlukan komponen atau karakteristik lain dalam melakukan penilaian ukuran usaha, misalnya dengan melihat tingkat informalitas usaha dengan berdasarkan kepada dokumen-dokumen usaha yang dimiliki, tingkat kerumitan teknologi yang digunakan, padat karya dan lain sebagainya.
Perbedaan beberapa kriteria tersebut dapat dimengerti karena alasan kepentingan pembinaan yang spesifik dari masing-masing sektor/kegiatan yang bersangkutan. Namun disadari pula bahwa dalam beberapa hal perbedaan tersebut dapat menimbulkan kesulitan bagi suatu lembaga peneliti terutama dalam pengambilan sample penelitian, sehingga hasilnya dapat menimbulkan persepsi berbeda.
Sehubungan dengan kesulitan yang ditimbulkan di atas, maka sejak tahun 1995 telah diadakan kesepakatan bersama antar instansi BUMN dan perbankan untuk menciptakan suatu kriteria usaha kecil, yaitu suatu badan atau perorangan yang mempunyai total assets maksimal Rp. 600 juta tidak termasuk rumah dan tanah yang ditempati.

Strategi Pembangunan
Sadar atau tidak, dalam era desentralisasi dan globalisasi sekarang, setiap masyarakat di daerah menghadapi tantangan yang berbeda dari lingkungan eksternal. Dalam kaitan ini, pemecahan masalah tidak dapat dilakukan dengan kebijakan sama yang berlaku umum dari tingkat pusat. Kebijakan dan strategi yang dikembangkan haruslah sesuai dengan spesifikasi atau kondisi yang dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan.
Masalah daerah memerlukan solusi kedaerahan. Wewenang yang selama ini dipengang pemerintah pusat harus diberikan kepada pemerintah daerah untuk menangani masalah di daerahnya. Dalam kaitan ini, strategi pembangunan daerah haruslah dilakukan dengan proses kolaborasi berbagai unsur terkait dengan masyarakat di daerah. Kebijakan dan strategi yang dikembangakan harus menggunakan sumberdaya lokal yang efisien, termasuk sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya budaya. Lintas pelaku di masyarakat harus bekerja sama untuk meningkatkan nilai sumberdaya setempat.
Untuk itu, perlu diperhatikan bahwa peran UMKM strategis untuk menciptakan tenaga kerja, kesejahteraan dan peningkatan standar hidup masyarakat setempat. Pertumbuhan UMKM tergantung dari kondisi lingkungan bisnis yang dibuat sebagai usaha bersama antara UMKM, Pemerintah dan entitas masyarakat setempat.
Adapun unsur lingkungan bisnis kondusif yang perlu menjadi perhatian, meliputi ketersediaan modal, infrastruktur dan fasilitasnya, ketersediaan tenaga terampil, layanan pendidikan dan pelatihan, jaringan pengetahuan, ketersediaan layanan bisnis, lembaga lingkungan pendukung pembangunan daerah, dan kualitas pengelolaan sektor publik.
Sebagai persyaratan agar strategi pembangunan daerah bekerja dengan baik, maka harus ada evaluasi terhadap kekuatan dan kelemahan masyarakat, identifikasi kesempatan bagi UMKM, pengurangan hambatan bisnis, dan pemberian kesempatan lintas pelaku setempat untuk berpartisipasi dalam proses.
Dalam pembangunan daerah ini, strategi dan pendekatan yang bisa dilakukan, a.l. investasi dibidang infrastruktur, penyediaan insentif bagi investasi bisnis, mendorong pengembangan investasi baru, pengembangan klaster, pengembangan kemitraan, pengembangan kesempatan kerja, penyediaan layanan pelatihan dan konsultasi, pengembangan lembaga keuangan mikro, penguatan proteksi lingkungan, pengembangan tanggung jawab sosial perusahaan, perlindungan terhadap warisan budaya, dan pendirian lembaga pembangunan daerah.

Pemerintah Daerah
Untuk mempercepat pembangunan daerah, maka pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan pembangunan harus lelalu mengintegrasikan semua lintas pelaku, termasuk berbagai unsur dalam pemerintah daerah, bisnis, organisasi nirlaba dan penduduk lainnya.
Lintas pelaku harus bekerjasama untuk membuat kerangka kerja formal dan informal atau lembaga untuk mendorong interaksi dan mengatur hubungan antar lembaga. Fleksibilitas harus menjadi kunci dari kerangka kerja dan lembaga yang harus menyalurkan perhatian dan kepentingan yang relevan dalam proses dan mobilisasi sumber daya masyarakat.
Percepatan pembangunan pemerintahan daerah mungkin memerlukan pendirian suatu organisasi pengembangan khusus, yang bertanggungjawab dalam pengordinasian seluruh lintas pelaku dan berfungsi sebagai juru bicara rencana aksi atau platform yang ingin dituju.
Organisasi ini harus membentuk jejaring untuk pembangunan daerah untuk peningkatan efisiensi pengalokasian sumberdaya serta berbagai pengetahuan dan informasi. Operasionalisasi dan pembiayaan organisasi ini harus didukung oleh lintas pelaku daerah.
Salah satu misi utama dari pemerintah daerah adalah menggambarkan dan mengimplementasikan seluruh strategi pembangunan. Proses ini harus dimulai dengan penetapan tujuan yang jelas dan memahami kondisi daerah setempat.
Entitas harus juga mempertimbangkan keberlanjutan pada semua tahapan perencanaan dan implementasi untuk menjamin suatu lingkungan yang sehat dan suatu kualitas hidup yang baik. Strategi yang diterapkan haruslah dikembangkan dengan pembagian tenaga kerja antar pelaku sesuai dengan kekuatan dan sumberdaya mereka. Sejalan dengan tren desentralisasi, peran pemerintah daerah menjadi semakin penting dalam pembangunan. Otoritas pemerintah daerah harus menyediakan petunjuk dan bantuan untuk efektifitas dan efisiensi implementasi pengembangan strategi. Simplikasi dan deregulasi prosedur birokrasi harus dilakukan untuk mengurangi biaya bisnis. Pemerintah daerah harus menjembatani antara masyarakat dan otoritas pemerintah yang lebih tinggi.

Promosi Inovasi
Seorang wirausaha secara umum mampu memanfaatkan kesempatan untuk pengembangan kapasitas ekonomi dan pengalokasian sumber daya secara efektif. Sejalan dengan tren baru dalam pembangunan ekonomi, wirausaha juga harus mampu menghadapi kompetisi dan berinovasi, menghasilkan pertumbuhan ekonomi, pembaharuan teknologi, penciptaan lapangan kerja dan perbaikan kesejahteraan masyarakat setempat.
Sumber daya lokal harus dimanfaatkan untuk mendorong pengembangan bisnis dengan memfasilitasi pengusaha untuk mengakses informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, modal, dan sumber daya manusia yang dibutuhkan bagi keberhasilan bisnisnya. Lebih penting lagi, otoritas daerah harus mampu melakukan upaya penyederhanaan proses administrasi bagi usaha pemula (new business start-up).
Sistem inovasi lokal merupakan mekanisme fundamental untuk penguatan kapasitas inovasi ditingkat lokal. Adapun aktor utama dalam sistem ini meliputi pemerintah setempat, industri, lembaga riset dan perguruan tinggi. Untuk penguatan operasi sistem inovasi lokal, pemerintah daerah perlu mengembangkan kolaborasi antara industri dan perguruan tinggi dengan menyediakan insentif untuk pengembangan usaha patungan antara pengusaha daerah dan perguruan tinggi. Pengembangan inkubator akan meningkatkan diseminasi ilmu pengetahuan dalam sistem inovasi.
Pembentukan klaster akan mampu merangsang penumbuhan bisnis baru dan menarik perusahaan bisnis baru dari luar daerah, sehingga menigkatkan output industri dan menciptakan kesempatan kerja baru. Melalui interaksi dan berbagai sumber daya dalam jejaring, inovasi dan perbaikan teknologi dapat ditingkatkan. Dalam kaitan ini pemerintah daerah perlu menumbuhkan iklim usaha yang kondusif sesuai dengan kondisi lokal untuk pengembangan industri klaster.

Pengembangan SDM.
Kebijakan tenaga kerja terkait erat dengan strategi pengembangan ekonomi dan kebijakan stabilitas sosial. Dan keberhasilan pada satu sisi suatu kebijakan tergantung pada keberhasilan yang lain. Unsur-unsur interaksi mempengaruhi keberhasilan kebijakan tenaga kerja meliputi seberapa baik kebijakan itu sejalan dengan seluruh strategi pengembangan ekonomi, yang juga harus membangun jejaring dengan layanan organisasi ekonomi dan sosial lain, dan bagaimana kondisi sosial dan ekonomi mempengaruhi fleksibilitas implementasinya.
UMKM dan bisnis pemula menjadi penghela penciptaan tenaga kerja di tingkat lokal. Penumbuhan UMKM dan bisnis pemula mempunyai andil pending dalam penyusunan kebijakan tenaga kerja diberbagai wilayah. Agar kebijakan UMKM dan bisnis pemula berjalan dengan baik, otoritas pemerintah daerah harus melibatkan mereka dalam setiap proses penyusunan dan implementasi kebijakan.
Pendirian organisasi pelatihan lokal perlu koordinasi antar pembisnis, tega ahli, dan perguruan tinggi. Masukan dari pebisnis dapat membantu menjamin kandungan pelatihan dapat merefleksikan keterampilan yang sesuai dengan alam kebutuhan pasar tenaga kerja. Otoritas daerah dapat menawarkan insentif untuk mengembangkan pelatihan keterampilan, dan mendorong partisipasi dalam pelatihan.
Dalam era globalisasi, keterampilan yang dibutuhkan pasar berubah cepat. Tenaga kerja harus fleksibel mampu beradaptasi dengan perubahan. Oleh karena itu sangat penting untuk mempercepat kapasitas pekerja untuk mempelajari keterampilan baru, dan alih keterampilan bagi industri yang lain.

Dukungan Financial
Pengembangan Usaha Mikro kecil dan Menengah (UMKM) biasanya diiringi dengan kebutuhan modal. UMKM yang semakin berkembang, disebabkan karena semakin besarnya pula peluang usaha yang dapat diakses.
Dalam kondisi tersebut biasanya UMKM tidak dapat mengembangkan usahanya lebih jauh lagi, karena kurangnya dukungan dana. Di sinilah pentingnya lembaga pemberi modal memainkan peranannya, sekaligus melalukan pendampingan.
Sejumlah mekanisme dapat dilakukan sesuai dengan keragaman kondisi yang dihadapi UMKM berkaitan dengan akses finansial. Untuk pembiayaan usaha mikro biasanya memerlukan pengembangan lembaga keuangan mikro dan ketersediaan kredit yang dapat diakses mereka.
Lembaga keuangan mikro bisa berbentuk bank atau non bank, termasuk koperasi. Bagi usaha pemula, pengembangan jejaring lokal usaha malaikat (Business Angels) dapat mengatasi sebagian masalah mereka. Lembaga jaminan kredit termasuk di tingkat lokal juga memadai untuk pasar lokal yang lebih kecil.
Tujuan pengembangan lembaga jaminan kredit untuk menjamin keamanan pembiayaan UMKM, membantu UMKM mengatasi keterbatasan agunan, meningkatkan minat lembaga keuangan memberikan kredit kepada UMKM dan mendukung lembaga lain yang telah berusaha membantu UMKM, sebab selama ini perbankan tidak kondusif dalam memberikan pinjaman kredit, karena kredit yang mereka kucurkan selalu berdasarkan 5 C, yakni character, capacity, capital, condition of ecconomic, and collateral.
Akibatnya perbankan selalu menerapkan berbagai persyaratan jaminan keamanan kredit yang disalurkannya. Apalagi mereka juga sering kali tidak membedakan persyaratan kredit antara usaha mikro atau kecil dengan usaha besar. Karena itulah pemerintah mendukung peran serta lembaga keuangan lain seperti lembaga modal ventura sebagai alternatif solusi didalam pemberdayaan UMKM.
Keunggulan modal ventura, modal ventura adalah pembiayaan yang berbentuk penyertaan modal, pola bagi hasil, dan obligasi konversi kepada UMKM dalam jangka waktu tertentu dengan karakteristik mempunyai tingkat resiko atau modal yang ditanamkan karena bertindak sebagai investor.
Modal ventura merupakan investasi aktif, yakni jika dipandang perlu melibatkan diri dalam pengelolaan usaha UMKM investasi bersifat sementara dan mengharapkan hasil atas investasi yang ditanamkan.
Dibandingkan dengan perbankan, lembaga modal ventura memiliki beberapa kelebihan didalam mendukung usaha mikro, kecil dan menengah antara lain:
Pertama, lembaga modal venturamenyediakan modal seperti halnya perbankan, tetapi dengan syarat lebih sederhana dalam aspek formal maupun agunan karena lebih mengedepankan kelayakan usaha.
Kedua, selain modal, pola ventura juga menyediakan pendampingan sesuai kebutuhan UMKM, sehingga dapat berjalan lebih efektif bagi kedua pihak. Pola pendampingan ini menjadi trdemark ventura. Pendampingan ini dapat berbentuk pembinaan atau Pelatihan, konsultasi, manajemen dan perluasan pasar bagi UMKM. Ini yang menyebabkan pola modal ventura berbeda dengan perbankan. Faktor lain yang mendukung lembaga modal ventura menjadi alternatif, adalah akses jaringan di seluruh Indonesia.

Modal Awal Pendanaan
Sejak tahun 2001, modal ventura telah menjadi mitra kementrian Koperasi dan UMKM untuk menggulirkan dana penguatan permodalan kepada usaha kecil, mengengah dan koperasi melalui program modal awal pendanaan (MAP).
MAP ini merupakakan dana investasi untuk disalurkan kepada usaha kecil, menengah dan koperasi (UMKMK) melalui lembaga modal ventura untuk memulai atau mengembangkan bisnis UMKMK. Program MAP bertujuan melakukan pengembangan UMKMK terutama yang bernilai tambah tinggi, menstimulasi dan menggalang partisipasi berbagai pihak dalam pengembangan basis permodalan UMKMK, serta merangsang pengembangan permodalan jangka panjang bagi UMKMK melalui penyediaan dana investasi (matching fund), dengan mekanisme pengembalian pokok dana MAP oleh UMKMK dilakukan dengan diangsur atau sekaligus sesuai dengan jadwal investasi UMKMK yaitu maksimal 5 tahun.

Strategi Pemasaran.
Di banyak daerah, masalah strategi pemasaran menjadi perhatian utama, khususnya untuk produk budaya lokal. Industri budaya lokal yang tradisional mungkin masih menggunakan metode pemasaran kadaluarsa. Ini bisa membuat industri ini mengalami penurunan.
Tetapi, upaya mengembangkan industri budaya lokal dengan pemasaran inovatif dan modern bisa membantu meraih kembali keuntungan pasar. Kebijakan seperti ini dapat mencegah hilangnya nilai budaya dan sejarah karena dampak globalisasi.
Produk dari industri budaya lokal merupakan ekspresi budaya dan seni, yang biasanya banyak menarik bagi pembeli asing dan memiliki potensi ekspor tinggi. Walaupun secara umum, sebagian dari industri ini adalah usaha mikro yang kesulitan pemasaran di luar negeri.
Pengembangan e-commerce merupakan strategi yang dapat membantu memasarkan produknya keluar negeri dengan biaya yang murah. Sebelum itu, memperkecil kesenjangan digital perlu dilakukan dan sekaligus pembangunan infrastruktur internet.
Untuk mengatasi keterbatasan ukuran dan sumber daya, pembisnis budaya lokal dapat menerapkan strategi pembangunan kerjasama, seperti kerja sama pemasaran dengan pebisnis di industri budaya lokal dan bisnis lain yang saling menguntungkan. Para pasangan bisnis ini dapat bekerja sama untuk membangun asosiasi atau jejaring untuk mempromosikan produk.

Membangun Kemitraan
Pembangunan daerah sebagian besar tergantung pada kemitraan antara pemerintah, pelaku bisnis dan lembaga non pemerintah. Kemitraan ini memfasilitasi koordinasi dan kerja sama. Pasangan lokal darisektor swasta dapat membantu mengekspolitasi kesempatan daerah dalam mengembangkan kebijakan dan strategi yang sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kunci utama dari kemitraan ini adalah mekanisme untuk mengatur dan mengkoordinid secara benar sumber daya dan upaya-upaya yang berbeda dari para pelaku yang berbeda.
Perencanaan dan implementasinya dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan kekuatan masing-masing. Selama dalam proses ini penting untuk diperhatikan, yakni membentuk jejaring kerjasama dan mengembangkan rasa saling percaya.
Karena keterbatasan institusionalisasi, kemitraan untuk pembangunan daerah kerap kurang berjalan dengan stabil. Oleh karena itu pemerintah daerah harus memimpin di depan dalam membangun mekanisme yang lebih stabil dan formal untuk membantu memberikan kemitraan sebagai basis pelembagaan dan kemampuan merancang dan menerapkan rencana pengembangan.
Konsep kemitaan untuk pembangunan daerah dekat hubungannya dengan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Sejalan dengan filosofi CSR, perusahaan ingin mendedikasikan dirinya untuk membangun kemitraan lokal, memperkuat kapasitas lokal, perlindungan lingkungan dan berkontribusi dana untuk pembangunan daerah.
Kesaaran akan pentingnya CSR diantara para pebisnis menjadi prasyarat penting untuk melibatkan para pebisnis dalam kemitraan untuk pengembangan daerah. Membangun kesadaran ini merupakan bidang yang perlu menjadi perhatian pemerintah daerah.


Kesimpulan
Dari uraian-uraian dan penjelasan-penjelasan dimuka, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dalam rangka pengembangan usaha mikro kecil dan menengah sebagai kekuatan strategi untuk mempercepat pembagunan daerah Pertama; potensi pengembangan UMKM di daerah sangat besar. Kedua, pengembangan UMKM harus dilaksanakan sesuai dengan budaya lokal dan potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Ketiga, Sektor UMKM ini sangat berperan dalam menanggulangi masalah sosial di daerah dengan penyerapan tenaga kerja yang sanagat tinggi. Keempat, peranan peningkatan SDM, pemanfaatan teknologi, akses permodalan, akses pemasaran, akses informasi, dan manajemen sangat penting dalam mengembangkan usaha mikro. Kelima; Sumber daya alam dan sumber daya manusia serta pasar dunia yang semakin terbuka pada era global merupakan potensi besar jika disain dan strategi replikasi yang meliputi kerjasama jaringan (network) pemerintah, LSM, lembaga swasta dan individu maupun kelompok di kelola secara efektif dalam bentuk kemitraan.

DAFTAR PUSTAKA

Asmara, Anjal Anie. “Pola Pemasaran Yang Efektif Untuk UKM.” Makalah disampaikan pada Seminar UKM Strategi Pengembangan Usaha Kecil Menengah Dalam Rangka Menghadapi Persaingan Global, Yogyakarta, 2 Oktober 2004.

Bank Indonesia. “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia.” 1995.

Chang, Willian. “Rakyat Kecil di Tengah Instabilitas Sosial.” Masyarakat Versus Negara. Kompas, Jakarta, 2002.

Chandra, Purdi E. “Trik Bisnis Menuju Sukses.” Yogyakarta, CV. Grafika Indah, 2004.

Ernawati. “Upaya Meningkatkan Peran UMKMK.” Warta Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL, Jakarta, Edisi Oktober Bappenas, UNDP, UN-HABITAT, 2002.

Endang, Sri Nuryani. “Peran Pemerintah Dalam Pengembangan UKM Menghadapi Pasar Global.” Makalah disampaikan pada Seminar UKM Strategi Pengembangan Usaha Kecil Menengah Dalam Rangka Menghadapi Persaingan Global, Yogyakarta, 2 Oktober 2004.

Fakih, Mansour. “Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi.” Yogyakarta, Insist Press, 2003.

Hasanullah. “Peranan PPUK Bank Indonesia Dalam Pemberian KUK oleh Perbankan Di Indonesia.” Jurnal Magister Manajemen. No. 26, Jakarta, Badan Penerbit IPWI, 1997.

Iqbal, Mohammad. M Simanjuntak, Krisni. “Solusi Jitu Bagi Pengusaha Kecil Dan Menengah.” Jakarta, PT. Elex Media Komputindo, 2004.

Ketetapan MPR Nomor XVI Tahun 1998 Tentang Politik Ekonomi DalamRangka Demokrasi Ekonomi.

Prawirosentono, Suryadi. “ Strategi Pengambilan Keputusan Bisnis.” Jakarta ,
PT. Bumi Aksara, 2002.

Rangkuti, Freddy. “Analisa SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.” Jakarta, PT. SUN, 2000.

Retnadi, Djoko. “Menengok Kebijakan UMKM di Malaysia.” Kompas. 16 Oktober 2004.

Sarosa, Pietra. “Kiat Praktis Membuka Usaha.” Jakarta, PT. Gramedia, 2004.

Toha, Mahmud. “Indonesia Menapak Abad 21”. Kajian Ekonomi Politik. Kumpulan Tulisan Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK)-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Millenium Publisher. 2000.

Jurnal Koperasi & UMKM, Tabloid kerjasama Bisnis Indonesia dengan kementrian Negara Koperasi dan UMKM, edisi VI/ Oktober 2008.

Team Work Lapera. “Politik Pemberdayaan.” Yogyakarta, Lapera Pustaka Utama, 2000.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Usman, Sunyoto. “Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.” Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004.

Widodo, Tri. “Strategi Pengolahan Sumber Modal UKM.” Makalah Disampaikan pada Seminar UKM Strategi Pengembangan Usaha Kecil Menengah Dalam Rangka Menghadapi Persaingan Global, Yogyakarta, 2 Oktober 2004.

AKREDITASI SEBAGAI PELUANG DAN ANCAMAN BAGI PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA

Oleh: Abdullah Abidin

I. Latar Belakang
Pendidikan Tinggi merupakan bagian integral dari pembangunan Sumber Daya Manusia dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri (Undang-Undang No.20 tahun 2003).
Upaya mewujudkan tujuan tersebut perlu didukung berbagai sumber daya, antara lain tersedianya institusi pendidikan tinggi yang dikelola secara profesional untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas sebagai salah satu komponen pelaksana pembangunan. Salah satu alat untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi dilakukan melalui akreditasi atau penilaian terhadap penyelenggaraan pendidkan yang merupakan kontrol dan audit eksternal mutu pendidikan.
Pasal 60 Undang-Undang No.20 tahun 2003 akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akutanbilitas publik. Perkembangan dan perubahan peraturan penyelenggaraan pendidikan terus berkembang. Pasal 61 Undang-undang No.20 tahun 2003 mensyaratkan bahwa ijazah dapat diberikan kepada peserta didik oleh satuan penyelenggaraan pendidikan yang terakreditasi.
Standar pendidikan terus berkembang sesuai dengan tuntutan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Kepmen nomor: 19 tahun 2005 pemerintah mengeluarkan Standar Nasional Pendidikan. Perguruan tinggi dimasa mendatang akan berusaha, meningkatkan mutu agar lulusannya sesuai dengan kompetensi yang diharapkan baik nasional maupun international.
Akreditasi Perguruan tinggi merupakan upaya pemerintah bersama masyarakat yang dilakukan secara sistematis, berkesinambungan, terencana dan terarah guna menetapkan strata yang menggambarkan mutu penyelenggaraan institusi pendidikan. Akreditasi dapat digunakan sebagai salah satu dasar upaya pembinaan dan pengawasan pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan.

II. Izin Penyelenggaraan Sebagai Persyaratan Awal (Eligibilitas)
Asesmen kinerja perguruan tinggi didasarkan pada pemenuhan tuntutan standar akreditasi. Dokumen akreditasi perguruan tinggi yang dapat diproses harus telah memenuhi persyaratan awal (eligibilitas) yang ditandai dengan adanya izin penyelenggaraan perguruan tinggi dari pejabat yang berwewenang; memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga/statuta dan dokumen-dokumen rencana strategis atau rencana induk pengembangan yang menunjukkan dengan jelas visi, misi, tujuan dan sasaran perguruan tinggi; nilai-nilai dasar yang dianut dan berbagai aspek mengenai organisasi dan pengelolaan perguruan tinggi, proses pengambilan keputusan penyelenggaraan program; sistem jaminan mutu; serta memiliki minimal “75%” program studi yang masih berstatus terakreditasi yang diawali dengan proses perpanjangan izin 4 tahun yang berdasarkan SK dirjen dikti nomor 034/DIKTI/Kep/2002.
Kriteria penilaian untuk evaluasi diri melalui SK 034/dikti/kep/2002, terdapat 17 (tujuhbelas butir) antara lain, Jumlah Mahasioswa, Rasio Dosen, Izin mengajar Dosen PNS dari Depdiknas, retata beban mengajar, Pesentase Realisasi mengajar dosen, SKS Mahasiswa persemester, Nisbah Lulusan, DO, Lama Studi, Penelitian Dosen, Fasilitas, dan lain-lain.

III. Standar Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi
Standar akreditasi adalah tolok ukur yang harus dipenuhi oleh institusi perguruan tinggi. Suatu standar akreditasi terdiri atas beberapa parameter (elemen penilaian) yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengukur dan menetapkan mutu dan kelayakan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan program-programnya diantaranya adalah: Standar kepemimpinan, Standar kemahasiswaan, Standar SDM, Kurikulum, Sarana dan Prasarana, Pendanaan, Tata Pamong, Sistem Pengelolaan, Sistem Pembelajaran, Suasana Akademik, Sistem Informasi, Sistem Penjaminan Mutu Intern, Lulusan, Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat, dan Standar program Studi.

IV. Peluang dan Ancaman Bagi Perguruan Tinggi
Fenomena yang terjadi saat ini, dimana masyarakat (stakeholders) selalu menuntut kepuasannya dapat terpenuhi. Perguruan tinggi sebagai institusi yang berperan dalam bidang jasa pendidikan, harus mampu memenuhi tuntutan stakeholders/user yaitu menjadi perguruan tinggi yang berkualitas.
Perguruan tinggi yang mendapat predikat ”berkualitas” akan menjadi incaran stakeholders/user baik user Input (calon Mahasiswa) maupun User output (Pengguna Lulusan). Kualitas menjadi issue yang penting dalam strategi bersaing. Sebuah organisasi yang sukses dalam berkompetisi tidak terlepas dari kesuksesannya dalam memahami arti sebuah kualitas. Sementara itu perguruan tinggi yang tidak terakreditasi atau tidak mendapatkan predikat ”berkualitas” akan ditinggalkan oleh oleh stakeholders/user karena stakehoders/ user telah sadar akan pentingnya arti sebuah kualitas. Hal ini menjadi masalah atau ancaman yang serius bagi Perguruan Tinggi, jika tidak secepatnya beradaptasi dengan keadaan dimana semua pesaing-pesaing melakukan perubahan secara totalitas untuk memenangkan sebuah persaingan yang sedang dihadapi.

V. Kesimpulan
Perguruan Tinggi yang ingin keluar sebagai pemenang dalam persaingan, maka harus bisa beradaptasi terhadap segala bentuk perubahan-prubahan yang mungkin akan mengancam keberlangsungannya.
Tools Management perguruan tinggi yang paling berperan dan paling berkontribusi bagi tercapainya tujuan organisasi adalah kualitas. Perguruan tinggi yang berkualitas akan menjadi pilihan utama bagi seluruh stakeholders/user. Sebaliknya jika perguruan tinggi tersebut tidak berkualitas sesuai keinginan dari stakeholders/user maka, perguruan tinggi tersebut akan semakin ditinggalkan. Perguruan tinggi yang tidak memenuhi keinginan dari stakeholders/ user memungkinkan terjadinya persoalan yang lebih fatal yaitu penutupan perguruan tinggi yang bersangkutan karena tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai perguruan tinggi yang mampu menghasilkan Sumber Daya Manusia sesuai yang diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebagaiman dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahu 2003, tentang sistem pendidikan nasional.

MENANGGULANGI KEMISKINAN MASYARAKAT PEDESAAN MELALUI PENDEKATAN DIMENSI SOSIAL EKONOMI

Oleh: Abdullah Abidin
Abstrak
Kemiskinan telah menjadi persoalan yang sangat mendasar, sehingga penangannya menjadi prioritas utama bagi pemerintah Indonesia, bahkan menjadi perhatian dunia. Pedesaan menjadi kantong utama kemiskinan di bandingkan dengan perkotaan. Kemiskinan ini semakin meluas dikarenakan penanganan yang tidak sesuai dengan akar permasalahannya. Sebab menangani masalah kemiskinan yang diakibatkan oleh rendanya tingkat pendidikan masyarakat, tidak sama dengan cara menagani kemiskinan yang diakibatkan oleh kurangnya alat produktif bagi masyarakat, dan kemiskinan disebabkan oleh terbatasnya akses pelayanan publik beda penyelesaiannya dengan kemiskinan yang disebabkan oleh dimensi-dimensi yang lainnya. begitu juga sebaliknya.
Kebijakan-kebijakan yang salah sasaran akan bermuara kepada kurang efektifnya menangani masalah kemiskinan. Untuk itu dibutuhkan berbagai program dan kebijakan yang tepat sasaran. Berbagai program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut, membutuhkan usaha yang serius untuk melaksanakannya. Disamping itu diperlukan komitmen pemerintah dan semua pihak untuk melihat kemiskinan sebagai masalah fundamental yang harus ditangani dengan baik, berkelanjutan dan dengan dukungan anggaran yang jelas.
Pengantar
Kemiskinan merupakan masalah yang sangat mendasar di Indonesia bahkan menjadi persoalan Dunia, Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya saving dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan segala-galanya demi keberlangsungan hidupnya, mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi sebagian kecil masyarakat lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan.
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk: Memperoleh pekerjaan dan mendapatkan kehidupan yang layak, Hak untuk memperoleh perlindungan hukum, Hak untuk memperoleh rasa aman, Hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau, Hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan, Hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan, Hak untuk memperoleh keadilan, Hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan, Hak untuk berinovasi, Hak menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan Hak untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks dan kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.
Selama ini, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. sehingga ketika penyediaan kebutuhan tersebut terbatas maka upaya yang dilakukan pun sia-sia.

konsep dan indikator kemiskinan
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri.
Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya.
Indikator-indikator tersbut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini;
v Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.
v Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS.
v Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;
v Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
v Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;
v Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;
v Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian.
v Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;
v Lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;
v Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya partisipasi; (11) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga.
Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Gambaran Kemisiknan di Pedesaan
Desa hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Pada tahun 1998 dari 49,5 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 60%-nya (29,7 juta jiwa) tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1999, prosentase angka kemiskinan mengalami penurunan dari 49,5 juta jiwa menjadi 37,5 juta jiwa. Prosentase kemiskinan di daerah perkotaan mengalami penurunan, tetapi prosentase kemiskinan di daerah pedesaan justru mengalami peningkatan dari 60% tahun 1998 menjadi 67% tahun 1999 sebesar 25,1 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12,4 juta jiwa. (Data BAPPENAS, 2004). Data tersebut diperkuat laporan Kompas tahun 2004 yang menyajikan bahwa lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Dengan demikian, desa hingga sekarang tetap menjadi kantong terbesar dari pusat kemiskinan. Tabel berikut menggambarkan prosentase perubahan dan jumlah penduduk miskin antara kota dengan desa dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1999.

Tabel
Prosentase dan perkembangan jumlah penduduk miskin desa dan kota 1976-1999



Tahun Desa Kota
Penduduk miskin (%) Penduduk miskin (%)
(juta jiwa) (juta jiwa)
1976 44,2 40,4 10,0 38,8
1978 38,9 33,4 8,3 30,8
1980 32,8 28,4 9,5 29,0
1981 31,3 26,5 9,3 28,1
1984 25,7 21,2 9,3 23,1
1987 20,3 16,4 9,7 20,1
1990 17,8 14,3 9,4 16,8
1993 17,2 13,8 8,7 13,4
1996 15,3 12,3 7,2 9,7
1998 31,9 25,7 17,6 21,9
1999 25,1 20,2 12,4 15,1

Sumber; Badan Pusat Statistik, Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa Dimensi Sosial Ekonomi 1996-1999.

Hasil pendataan BPS menunjukkan perkembangan garis kemiskinan dan jumlah penduduk miskin. Tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 44,2 juta jiwa dan sampai dengan tahun 1999 menjadi 25,1 juta jiwa. Sejak krisis ekonomi 1998, jumlah kemiskinan di daerah pedesaan mengalami peningkatan dengan tingkat kedalamannya mencapai 5,005 tahun 1998 dari 3,529 pada tahun 1996 dan di tahun 1999 menjadi 3,876 Indeks keparahan kemiskinan paling tinggi terjadi di desa.
Data berikut menggambarkan bagaimana kemiskinan mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakat pedesaan. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36,2 persen. Angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih sebesar 10,12 persen. Pada saat yang sama Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen, dan APS penduduk usia 16-18 tahun baru mencapai 50,97 persen. Tantangan tersebut menjadi semakin berat dengan adanya disparitas tingkat pendidikan antarkelompok masyarakat yang masih cukup tinggi seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah (Bappenas, 2004).
Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mempengaruhi indeks kemiskinan di daerah pedesaan. Data yang disajikan BPS memperlihatkan bahwa 72,01% dari rumahtangga miskin di pedesaan dipimpin kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipimpin kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Ciri rumahtangga miskin yang erat kaitanya dengan tingkat pendidikan adalah sumber penghasilan. Pada tahun 1996, penghasilan utama dari 63,0% rumahtangga miskin bersumber dari pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan. Dari sekitar 66.000 jumlah desa di Indonesia, tahun 1994 jumlah desa tertinggal mencapai 22.094 desa dan yang berada di daerah pedesaan sekitar 20.951 desa. Pada tahun 1999 jumlah desa tertinggal mencapai 16.566 dari sekitar 66.000 desa yang ada.
Menurut BPS, kantong penyebab kemiskinan desa, umumnya bersumber dari sektor pertanian yang disebabkan ketimpangan kepemilikan lahan pertanian. Kepemilikan lahan pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3,8% dari 18,3 juta ha. Di sisi lain, kesenjangan di sektor pertanian juga disebabkan ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yang terbatas juga menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian di pedesaan melempem. Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8% dari seluruh kredit perbankan, dan hanya naik 2% di tahun 2000 menjadi 19%.
Data-data mengenai penyebab kemiskinan desa seperti itu, bisa dikatakan sudah sangat lengkap dan bahkan memudahkan kita merumuskan indikator kemiskinan desa dan strategi penanggulanganya. Berdasarkan data di atas, penyebab utama kemiskinan desa adalah; (1) pengaruh faktor pendidikan yang rendah: (2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian; (3) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian; (4) alokasi anggaran kredit yang terbatas; (4) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar; (5) kebijakan pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota); (6) pengelolaan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional; (7) rendahnya produktivitas dan pembentukan modal; (8) budaya menabung yang belum berkembang di kalangan masyarakat desa; (9) tata pemerintahan yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang di daerah pedesaan; (10) tidak adanya jaminan sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat desa; (11) rendahnya jaminan kesehatan.
Masyarakat desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini terpenuhi seperti; (1) kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan; (2) memiliki lahan dan modal pertanian yang terbatas; (3) tidak adanya kesempatan menikmati investasi di sektor pertanian; (4) kurangnya kesempatan memperoleh kredit usaha; (4) tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar (pangan, papan, perumahan); (5) berurbanisasi ke kota; (6) menggunakan cara-cara pertanian tradisional; (7) kurangnya produktivitas usaha; (8) tidak adanya tabungan; (9) kesehatan yang kurang terjamin; (10) tidak memiliki asuransi dan jaminan sosial; (11) terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa; (12) tidak memiliki akses untuk memperoleh air bersih; (13) tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik.

Review Kebijakan Dan Program Pemerintah
Selama ini, kebijakan penanggulangan kemiskinan, didesain secara sentralistik oleh pemerintah pusat yang diwakili BAPPENAS. BAPPENAS merancang program penangulangan kemiskinan dengan dukungan alokasi dan distribusi anggaran dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan utang kepada Bank Dunia serta lembaga keuangan mmultinasional lainnya. Berkat alokasi anggaran yang memadai, pemerintah pusat menjalankan kebijakan sentralistik dengan program-program yang bersifat karitatif. Sejak tahun 1970-an di bawah kebijakan economic growth sampai dengan sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai obyek dari seluruh proyek yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan.
Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah pusat menjalankan program-programnya dalam bentuk: (1) menurunkan jumlah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan melalui bantuan kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti PUSKESMAS, INPRES, KUD, dan sebagainya; (2) mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara gratis kepada penduduk miskin; (3) mengusahakan pelayanan kesehatan yang memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan obat-obatan melalui PUSKESMAS; (4) mengusahakan penyediaan fasilitas pendidikan dasar dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES; (5) menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin; (6) memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin; (7) mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM; (8) menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya; dan sebagainya.
Berbagai program yang dijalankan oleh pemerintah tersebut, lebih banyak menuai kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Program Kredit Usaha Tani (KUT) misalnya, merupakan salah satu di antara serangkaian program pemerintah yang terbaru, yang menuai kegagalan. Program ini menempatkan Bank, Koprasi, LSM dan kelompok tani hanya sebagai mesin penyalur kredit, sedangkan tanggungjawab kredit terletak di tangan Departemen Koperasi. Pada tahun 1998, platfon KUT mencapai 8,4 triliun rupiah naik 13 kali lipat dari sebelumnya. Para petani menyebut program ini sebagai “kesalahan bertingkat enam” karena; (1) pelaksanaan KUT tidak benar-benar memberdayakan petani; (2) mesin penyalur KUT (LSM, Bank, Koperasi), ditunjuk tidak diseleksi secara ketat; (3) Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dibuat secara serampangan, banyak fiktifnya; (4) kredit diberikan kepada siapa saja termasuk nonpetani, sehingga kurang tepat sasaran; (5) tidak ada pengawasan dalam penyaluran, penerimaan dan penggunaan kredit; (6) dana penyaluran banyak bocornya, mulai dari Departemen Koprasi, hingga ke KUD. Akibatnya per September 2000, tunggakan KUT mencapai 6,169 triliun rupiah atau 73,69% dari realisasi kredit.
Sejak tahun 2000, program KUT yang dianggap gagal diganti pemerintah dengan program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi subsidi pada tahap awal. Berdasarkan target pemerintah, program ini menuai sukses tahun 2004, tetapi lagi-lagi mengalami kegagalan karena kesulitan bank menyalurkan kredit kepada petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit. Dari platfon sebesar 2,3 triliun rupiah, sampai Maret 2001 baru terrealisasi 3,85 miliar rupiah atau 1,57%. Akibatnya, terjadi kelangkaan kredit usaha tani di desa. Di samping program KUT dan KKP juga ada Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat pedesaan, sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara memberi bantuan modal dan pengadaan infrastruktur. Inti dari program ini adalah perencanaan yang melibatkan masyarakat, laki-laki dan perempuan, termasuk masyarakat miskin. Program ini dirancang melalui mekanisme musyawarah mulai dari tingkat dusun hingga ke tingkat kecamatan. Pelaksanaan program didampingi oleh seorang fasilitator kecamatan, dua orang fasilitator desa, satu laki-laki, satu perempuan di tiap desa, juga dibantu lembaga pengelola yaitu Unit Pengelola Keuangan (UPK) di kecamatan yang melibatkan LMD. Program ini di beberapa daerah mengalami kegagalan, karena tidak adanya perencanaan yang matang dan juga kuranya transparansi penggunaan dan alokasi anggaran kepada masyarakat desa.

Strategi dan Kebijakan Alternatif
Untuk membuat sebuah strategi dan kebijakan alternatif, diperlukan pengetahuan yang memadai tentang penyebab utama kemiskinan masyarakat desa. Dari serangkaian penyebab kemiskinan masyarakat desa yang telah disebutkan di depan, maka strategi dan kebijakan alternatif menanggulangi kemiskinan desa dapat dilakukan dengan cara;
1) Memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat desa untuk memperoleh layanan pendidikan yang memadai, secara gratis dan cuma-cuma. Pemerintah perlu mengembangkan sistem pendidikan nasional yang berorentasi keberpihakan kepada orang miskin (pendidikan untuk orang miskin).
2) Redistribusi lahan dan modal pertanian yang seimbang. Ketimpangan kepemilikan lahan pertanian, memperlebar jurang kemiskinan antara masyarakat yang tinggal di pedesaan. Sebagian besar tanah-tanah pertanian yang subur dimiliki oleh orang kaya.
3) Mendorong perkembangan investasi pertanian dan pertambangan ke daerah pedesaan. Pembukaan investasi pertanian dan pertambangan dapat memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat desa. Dengan begitu, pendapatan mereka akan meningkat dan berpengaruh pada perubahan kesejahteraan hidup;
4) Membuka kesempatan yang luas kepada masyarakat desa untuk memperoleh kredit usaha yang mudah. Sistem kredit yang ada saat ini, belum memberikan kemudahan usaha bagi masyarakat desa dan sering salah sasaran. Karena itu, diperlukan kebijakan baru yang memberikan jaminan kredit usaha yang memadai bagi masyarakat desa;
5) Memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan masyarakat desa. Kebutuhan sandang, papan dan pangan perlu dilakukan melalui sebuah mekanisme lumbung desa yang memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat desa, memperoleh sumber-sumber kebutuhan yang disediakan secara terorganisir;
6) Memperkenalkan sistem pertanian modern dengan teknologi baru yang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang memadai. Teknologi pertanian diperbanyak dan diberikan secara cuma-cuma kepada petani untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup mereka;
7) Memberikan jaminan kesehatan kepada mayarakat dengan sistem layanan kesehatan gratis, memperbanyak PUSKESMAS dan unit-unit layanan kesehatan kepada masyarakat desa yang miskin dan terbelakang;
8) Memberikan jaminan asuransi dan jaminan sosial terhadap masyarakat desa. Jaminan asuransi dan jaminan sosial dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin dan memberikan semangat hidup yang lebih berarti;
9) Memperkuat komitmen eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki tatanan pemerintahan. Agar pemerintah sekarang betul-betul berani dalam memberantas praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Perbaikan tatanan pemerintahan, menjadi kata kunci untuk membuat program penanggulangan kemiskinan benar-benar diperuntukkan bagi masyarakat miskin;
10) Mendorong agenda pembangunan daerah memprioritaskan pemberantasan kemiskinan sebagai skala prioritas yang utama, mendorong tekad semua pihak untuk mengakui kegagalan penanggulangan kemiskinan selama ini, membangkitkan kesadaran kolektif agar memahami kemiskinan sebagai musuh bersama, dan meningkatkan partisipasi semua pihak dalam memberantas kemiskinan.
Untuk menunjang keberhasilan strategi tersebut, diperlukan unsur-unsur berikut;
a) Upaya penanggulangan kemiskinan tersebut sebaiknya dilakukan secara menyeluruh, terpadu, lintas sektor, dan sesuai dengan kondisi dan budaya lokal, karena tidak ada satu kebijakan kemiskinan yang sesuai untuk semua;
b) Memberikan perhatian terhadap aspek proses, tanpa mengabaikan hasil akhir dari proses tersebut. Biarkan orang miskin merasakan bagaimana proses mereka bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan;
c) Melibatkan dan merupakan hasil proses dialog dengan berbagai pihak dan konsultan dengan segenap pihak yang berkepentingan terutama masyarakat miskin;
d) Meningkatkan kesadaran dan kepedulian di kalangan semua pihak yang terkait, serta membangkitkan gairah mereka yang terlibat untuk mengambil peran yang sesuai agar tercipta rasa memiliki program;
e) Menyediakan ruang gerak yang seluas-luasnya, bagi munculnya aneka inisiatif dan kreativitas masyarakat di berbagai tingkat. Dalam hal ini, pemerintah lebih berperan hanya sebagai inisiator, selanjutnya bertindak sebagai fasilitator dalam proses tersebut, sehingga akhirnya, kerangka dan pendekatan penanggulangan kemiskinan disepakati bersama;
f) Pemerintah dan pihak lainnya (ORNOP, Perguruan Tinggi, pengusaha, masyarakat madani, partai politik dan lembaga sosial keagamaan) dapat bergabung menjadi kekuatan yang saling mendukung;
g) Mereka yang bertanggungjawab dalam menyusun anggaran belanja harus menyadari pentingnya penanggulangan kemiskinan ini sehingga upaya ini ditempatkan dan mendapat prioritas utama dalam setiap program di setiap instansi.
Secara umum, program strategis yang dapat dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan di pedesaan adalah;
(1) Membuka peluang dan kesempatan berusaha bagi orang miskin untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi. Pemerintah harus menciptakan iklim agar pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutama oleh penduduk miskin. Agar pertumbuhan ekonomi ini berjalan dan berkelanjutan, maka di tingkat nasional diperlukan syarat; (a) stabilitas makro ekonomi, khususnya laju inflasi yang rendah dan iklim sosial politik dan ekonomi yang mendukung investasi dan inovasi para pelaku ekonomi. (b) diperlukan kebijakan yang berlandaskan pradigma keberpihakan kepada orang miskin agar mereka dapat sepenuhnya memanfaatkan kesempatan yang terbuka dalam proses pembangunan ekonomi; (c) memberikan prioritas tinggi pada kebijakan dan pembangunan sarana sosial dan sarana fisik yang penting bagi masyarakat miskin, seperti jalan desa, irigasi, sekolah, air minum, air bersih, sanitasi, pemukiman, rumah sakit, dan poliklinik di tingkat nasional maupun daerah. Beberapa program yang bisa dijalankan dengan menggunakan kebijakan ini adalah;
v Program penyediaan sarana kesehatan bagi masyarakat miskin (PUSKESMAS, POSYANDU), dan sebagainya;
v Program peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, serta penyediaan pendidikan gratis bagi orang miskin;
v Program pemberdayaan masyarakat, peningkatan pendidikan informal dan keterampilan bagi masyarakat miskin, melalui inisiatif dari pemerintah daerah, juga melalui kerjasama dengan badan pendidikan, perguruan tinggi atau dengan LSM lokal;
v Program pembentukan modal usaha melalui peningkatan akses masyarakat miskin terhadap lembaga-lembaga keuangan agar mereka ikut serta dalam program kredit dan tabungan;
v Program sertifikasi tanah dan tempat usaha bagi orang miskin untuk menjaga asetnya dengan baik;
v Program pengembangan pusat pasar pertanian dan pusat informasi perdagangan.
(2) Kebijakan dan program untuk memberdayakan kelompok miskin. Kemiskinan memiliki sifat multidimensional, maka penanggulanganya tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, akan tetapi juga mengandalkan kebijakan dan program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan.. Beberapa program yang bisa dilaksanakan adalah;
Ø Program penguatan organisasi sosial, kelompok ekonomi, dan organisasi swamasyarakat lainnya seperti kelompok arisan, kelompok petani pangan, pedagang kecil, simpan-pinjam dan sebagainya;
Ø Program keterlibatan kelompok miskin dalam proses pendidikan demokrasi, misalnya dalam pengambilan keputusan melalui public hearing, penggunaan hak tanya dan sebagainya;
Ø Program keterlibatan kelompok miskin dalam pemantauan dan evaluasi pembangunan.
(3) Kebijakan dan Program yang Melindungi Kelompok Miskin. Kelompok masyarakat miskin sangat rentan terhadap goncangan internal (misalnya kepala keluarga meninggal, jatuh sakit, kena PHK) maupun goncangan eksternal (misalnya kehilangan pekerjaan, bencana alam, konflik sosial), karena tidak memiliki ketahanan atau jaminan dalam menghadapi goncangan-goncangan tersebut. Kebijakan dan program yang diperlukan mencakup upaya untuk; (a) mengurangi sumber-sumber resiko goncangan; (b) meningkatkan kemampuan kelompok miskin untuk mengatasi goncangan dan; (c) menciptakan sistem perlindungan sosial yang efektif. Beberapa program yang bisa dilaksanakan untuk kategori ini adalah;
Ø Program lumbung desa yang sudah dikenal sejak lama. Program ini dapat disempurnakan dengan memasukkan metode yang lebih baik;
Ø Program kredit mikro atau koprasi simpan pinjam untuk kelompok miskin yang mudah diakses, dengan persyaratan atau agunan yang mudah dan syarat pengembalian yang fleksibel;
Ø Program pengembangan modal usaha dan kewiraswastaan untuk mendorong kelompok miskin meningkatkan kemampuan pemupukan modal usahanya secara mandiri dan berkelanjutan;
Ø Program pembentukan lembaga khusus penanggulangan bencana alam dan sosial yang terpadu, efektif dan responsif di daerah.
(4) Kebijakan dan Program untuk memutus pewarisan kemiskinan antar generasi; hak anak dan peranan perempuan. Meningkatkan pendidikan dan peranan perempuan dalam keluarga adalah salah satu kunci memutus rantai kemiskinan. Beberapa program yang dapat dikembangkan dalam kategori ini adalah;
ü Program pemberian bantuan sarana dan beasiswa untuk masyarakat miskin;
ü Program pemberian makanan tambahan bagi anak-anak miskin di sekolah;
ü Program magang atau menyerap lulusan sekolah kejuruan atau diploma;
ü Program pemberdayaan perempuan melalui kegiatan produktif;
ü Program penyuluhan bagi para ibu, bapak dan remaja, tentang hak-hak dan kewajiban mereka dalam berumah tangga.
(5) Kebijakan dan program penguatan otonomi desa. Otonomi desa dapat menjadi ruang yang memungkinkan masyarakat desa dapat menanggulangi sendiri kemiskinannya. Otonomi desa merupakan ruang yang dapat digunakan oleh masyarakat desa untuk mengelola inisiatif dan kreativitas mereka dengan baik, menjadi sumber daya yang melimpah untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Kebijakan dan program yang bisa dilakukan untuk penguatan otonomi desa adalah;
> meningkatkan mutu sumber daya manusia desa melalui pendidikan formal dan nonformal;
> meningkatkan ketersediaan sumber-sumber biaya pembangunan desa dengan alokasi anggaran yang jelas dari pusat, provinsi dan kabupaten;
> menata lembaga pemerintahan desa yang lebih efektif dan demokratis;
> membangun sistem regulasi (PERDes) yang jelas dan tegas;
> mewujudkan otonomi desa untuk memberikan ruang partisipasi dan kreativitas masyarakat;
> mengurangi praktek korupsi di birokrasi pemerintah desa melalui penerapan tatanan pemerintahan yang baik;
> menciptakan sistem pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, efisien dan berwibawa;
> meningkatnya partisipasi masyarakat desa dalam pengambilan kebijakan publik; .
Berbagai program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut, membutuhkan usaha yang serius untuk melaksanakannya. Disamping itu diperlukan komitmen pemerintah dan semua pihak untuk melihat kemiskinan sebagai masalah fundamental yang harus ditangani dengan baik, berkelanjutan dan dengan dukungan anggaran yang jelas.


DAFTAR PUSTAKA

Rachbini, D.J. 2002. Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Riyadi, and D.S. Bratakusumah. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sumawata, S. 2004. Politik Ekonomi Kerakyatan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tarigan, R. 2004. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Tjiptoherijanto, P. 2004. Kependudukan, Birokrasi dan Reformasi Ekonomi: Pemikiran dan Gagasan Masa Depan Pembangunan. PT Rineka Cipta. Jakarta.